Senin, Maret 10, 2008

Analisis Banjir

BanJIIIR!! BANJIIRRR!!!! tong..tong...
Teriakan berlirik tersebut sering kali kita dengar apalagi pada bulan Januari atau Februari, tetapi pada musim hujan kali ini banjir besar terjadi akhir Desember 2007. Bahkan, pada awal musim hujan banjir sudah meluas di Sumatera Utara, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, dan DKI Jakarta.
Banjir di Daerah Aliran Sungai (DAS) Bengawan Solo, Jawa Tengah dan Jawa Timur sangat mengejutkan karena luapannya sangat luas menggenangi beberapa kabupaten, mulai dari Karanganyar, Solo, Bojonegoro, Tuban, Lamongan, dan Gresik. Selain banjir DAS Bengawan Solo, banjir DAS Wulan dan Juwana juga menggenangi sawah dan pemukiman di Pati, Kudus, dan Demak. Banjir ini merusak ribuan rumah warga, menghancurkan sawah penduduk, dan merenggut korban jiwa. Kalau digabungkan dengan akibat longsor maka jumlah penduduk yang tewas lebih dari 60 orang.Hal ini sudah sangat memprihatinkan dan harus menjadi perhatian khusus pemerintah. Banjir yang terjadi di DAS Bengawan Solo (Jawa Tengah dan Jawa Timur), DAS Wulan, dan Juwana (Jawa Tengah) curah hujan tidak luar biasa dan dalam kategori normal. Apabila kondisi DAS di wilayah itu baik maka sebenarnya banjir luar biasa tidak akan terjadi. Namun, kenyataannya terjadi banjir besar. Semua keadaan ini mengindikasikan bahwa sudah terjadi degradasi lahan di DAS tersebut. Hal ini sejalan dengan data yang dipublikasikan oleh Dirjen RLPS, Departemen Kehutanan bahwa jumlah lahan kritis dan sangat kritis di Indonesia sudah mencapai 30 juta hektare. Apabila digabung dengan lahan agak kritis maka jumlahnya mencapai 70 juta ha. Jumlah hutan terdegradasi di seluruh Indonesia sudah mencapai 59 juta ha. Degradasi lahan tersebut mengakibatkan rusaknya fungsi hidrologis DAS. Kapasitas infiltrasi DAS menurun dan koefisien aliran permukaan meningkat.
Penyebab Degradasi
Terjadinya degradasi lahan dan rusaknya fungsi hidrologis DAS tersebut kemungkinan disebabkan beberapa faktor. Pertama, penggunaan dan peruntukan lahan menyimpang dari Rencana Tata Ruang Wilayah atau Rencana Tata Ruang Daerah. Misalnya, daerah yang diperuntukkan sebagai hutan lindung dialihfungsikan menjadi pertanian, hutan produksi dialihfungsikan menjadi permukiman, lahan budi daya pertanian dialihfungsikan menjadi permukiman atau industri, dan sebagainya.
Kedua, penggunaan lahan di DAS tidak sesuai dengan kemampuan lahan. Banyak lahan yang semestinya hanya untuk cagar alam, tetapi sudah diolah menjadi pertanian, atau lahan yang hanya cocok untuk hutan dijadikan lahan pertanian, bahkan permukiman. Banyak lahan yang kemiringan lerengnya lebih dari 30 persen bahkan 45 persen masih dijadikan pertanian yang intensif atau jadi permukiman.
Ketiga, perlakuan terhadap lahan di dalam DAS tersebut tidak memenuhi syarat-syarat yang diperlukan oleh lahan atau tidak memenuhi kaidah-kaidah konservasi tanah, serta teknik konservasi tanah dan air yang diterapkan tidak memadai.
Keempat, tidak adanya Undang-undang Konservasi Tanah dan Air yang mengharuskan masyarakat menerapkan teknik konservasi tanah dan air secara memadai di setiap penggunaan lahan. Dengan tidak adanya UU ini maka masyarakat tidak merasa berkewajiban untuk melaksanakan teknik konservasi tanah dan air, sehingga degradasi lahan terus meningkat.
Faktor kelima, kurang memadainya kesungguhan pemerintah mencegah degradasi lahan. Hal ini terindikasi dari tidak jelasnya program pencegahan degradasi lahan atau penerapan teknik konservasi tanah dan air di setiap tipe penggunaan lahan. Departemen yang berkaitan dengan penggunaan lahan, seperti Departemen Pertanian, Departemen PU, dan Departemen Dalam Negeri, kurang memprioritaskan program pencegahan degradasi lahan dan penerapan teknologi konservasi tanah dan air.
Untuk mencegah dan menanggulangi degradasi lahan maka strategi berikut harus menjadi prioritas. Pertama, kaji ulang tata ruang nasional, wilayah, dan daerah agar didasarkan pada kemampuan lahan. Kedua, penyimpangan tata ruang yang sudah berdasarkan kemampuan lahan harus ditindak tegas. Ketiga, semua sumber daya lahan harus diklasifikasikan berdasarkan kemampuannya. Keempat, penggunaan lahan harus didasarkan pada kemampuan lahan. Kelima, teknologi konservasi tanah dan air yang memadai harus diterapkan di setiap tipe penggunaan lahan. Keenam, penyusunan UU konservasi tanah dan air perlu dipercepat. Ketujuh, departemen terkait harus memprogramkan pencegahan degradasi lahan sebagai prioritas utama. Kedelapan, pemerintah perlu memasukkan materi pencegahan degradasi lahan/penerapan teknologi konservasi tanah dan air dalam kurikulum pendidikan.

0 komentar: